Tuduhan bahwa Fatwa MUI soal larangan salam lintas agama mengancam Pancasila sungguh keterlaluan. Fatwa haram salam lintas agama tersebut adalah panggilan dan tanggungjawab MUI sebagai wadah perjuangan umat Islam untuk menyelamatkan akidah umat. Sebaliknya BPIP sang penuduh justru sedang menunjukkan dirinya sebagai perusak Pancasila.
Menyatakan bahwa Fatwa MUI tidak menghargai kemajemukan jelas ngawur, apalagi mengaitkan dengan kesejarahan bangsa. Umat Islam dan MUI sejak awal sangat menjaga kemajemukan serta memelopori toleransi dalam arti saling menghargai perbedaan dalam beragama. Tidak memaksakan dan juga tidak juga mencampuradukkan. Agama akan kacau jika dicampuradukkan. Sinkretisme namanya.
Sekurangnya ada lima kejahilan (kebodohan) BPIP dalam menanggapi Fatwa MUI, yaitu :
Pertama, BPIP tidak faham bahwa Fatwa ini berlaku bagi umat Islam, tidak berkaitan dengan umat lain, artinya jika umat lain punya pandangan berbeda maka hal itu adalah haknya. Justru umat lain mesti toleran terhadap apa yang difahami oleh umat Islam.
Kedua, salam bagi umat Islam itu ibadah dengan kategori “ghoiru mahdhoh” tentu tidak sama dengan shalat, puasa atau haji. Rosulullah SAW mengajarkan bagaimana salam kepada sesama muslim dan kepada non muslim. Salam adalah syari’ah. Mengucapkan dan menjawab salam bagi muslim itu berpahala.
Ketiga, membenturkan dengan sejarah bangsa soal salam adalah bukti BPIP ternyata memang buta akan sejarah. Mana ada dalam sejarah tokoh bangsa berpidato menyatukan salam semua agama. Tidak Soekarno tidak juga Soeharto. Apalagi tokoh-tokoh sebelum kemerdekaan.
Keempat, menganggap Fatwa MUI mengancam Pancasila sangatlah tidak berdasar. Sila mana yang diancam ? Sila Ketuhanan Yang Maha Esa justru melindungi pemahaman masing-masing agama. Umat Islam sangat konsisten dengan ke-Esa-an Tuhan. Ironi sekali, ternyata BPIP yang justru tidak mengerti Pancasila.