Munafik adalah terma agama tetapi kini sudah menjadi bahasa umum untuk perilaku inkonsisten, banyak bohong dan ikut arus. Konteks agama yang juga berdimensi luas sebagai contoh adalah HR Bukhori dari Abu Hurairah tentang tiga ciri munafik yaitu :
Idza hadatsa kadzaba (jika berbicara, berdusta)
Wa idza wa’ada akhlafa (jika berjanji, ingkar)
Wa idza tu-mina khoona (jika diberi amanah, khianat)
Berbohong, ingkar janji dan khianat sering dilakukan oleh mereka yang abai pada akibat buruk dari perbuatannya baik di dunia maupun akhirat. Siapapun jika berorientasi pendek hanya keuntungan sesaat, maka ia berpotensi menjadi munafik. Ketika menjadi sangat banyak maka mereka berbondong-bondong masuk dalam komunitas munafikun.
Ciri lain dari munafik adalah kiri kanan oke, ia masuk kemana saja dengan wajah yang berubah-ubah tergantung dari warna lingkungannya. Dua warna sudah termasuk munafik apalagi “dasamuka” atau sepuluh wajah. Wajah-Wajah buruk.
Inna min syarrin nas dzal wajhain, ya’ti haa-ulaa i biwajhin wa haa-ula i biwajhin (seburuk-buruk manusia adalah yang punya dua wajah, ia datang ke satu lingkungan dengan satu wajah dan datang ke lingkungan lain dengan wajah yang lain)— HR Bukhori-Muslim.
Termasuk munafik tentu yang tidak punya pendirian. Ikut barisan pemenang dan tinggalkan yang kalah. Siapapun menang ia ikut, tentu dengan harapan mendapat sesuatu apakah uang, jabatan atau keuntungan lain. Pemenang dianggap memiliki segala-galanya. Dapat memberi atau membagi.
Jokowi menang ketika lawan Prabowo maka berbondong ikut Jokowi, padahal awalnya tidak. Prabowo menang lawan Anies maka berbondong-bondong ikut Prabowo. Ini adalah sifat atau sikap munafik. Prinsipnya siapa menang ikut “sopo menang melu” atau “saha meunang milu”. Menjadi seperti kisah kampret.